Training Workshop on Disaster Risk Management for Architects in Yogyakarta Part 3

HARI KEDUA (5 April 2018)

1. Recapitulation Dipandu oleh Mr. Avelino F. Filio, Jr. (ADPC), 

Peserta diberikan beberapa pertanyaan yang dijawab secara kelompok untuk menguji daya serap materi hari pertama Garis besar pertanyaan yang harus dijawab adalah mendefinisikan istilah yang tepat untuk pernyataan-pernyataan yang diberikan mengenai kebencanaan, antara lain 
 Menyebutkan tipe-tipe Vulnerability (Kerentanan) 
 Social 
 Economic 
 Environmental 
 Physical 
 Menyebutkan tipe-tipe Hazard (Bahaya) 
 Hydro-Meteorological 
 Geological  
 Biological 
 Environmental 
 Technological 
 Complex 
 Membedakan antara Coping Capacity dengan Resilience 
 Membedakan antara Early Warning System, Preparedness dan Prevention 
 Membedakan antara Disaster Risk Management dengan Disaster Risk Reduction 
 Menyebutkan kepanjangan dari SFDRR 
 Menyebutkan prioritas dari SFDRR (Sendai Framework for Disaster Risk Reduction) :

1. Understanding disaster risk 
2. Strengthening disaster risk governance to manage disaster risk 
3. Investing in disaster risk reduction for resilience 
4. Enhancing disaster preparedness for effective response, and to “Build Back Better” in recovery, rehabilitation and reconstruction. 

Peserta diharapkan setelah sesi rekap ini memahami Sendai Framework for Disaster Risk Reduction (SFDRR), Kerangka ini akan menjadi acuan internasional ke depan dalam hal pengurangan risiko bencana. 



Sesi 4 : “Role of Architect: In Disaster time & DRR” 
 Concept & approach Shelter After Disaster & DRR 
 Best practices/case studies 

1. Materi disampaikan oleh Bp. Ikaputra (UGM) Shelter After Disaster & Mutual Works : 

Proses pembangunan hunian setelah bencana melibatkan masyarakat terkena bencana dibantu oleh : Pemerintah, Donatur (NGO), Arsitek/Insinyur dan Media, proses ini tujuannya adalah Building Back Better (membangun kembali dengan lebih baik) Program rekonstruksi hunian dalam tahap rekonstruksi telah menjadi media yang efektif untuk mengubah pengetahuan tentang rumah tahan gempa kepada anggota masyarakat. 

Karena sebagian besar masyarakat belum sadar dalam menggunakan panduan tahan gempa, Rumah permanen paska bencana mengacu pada kualitas yang baik dan tahan terhadap gempa.  

Partisipasi masyarakat yang paling didasarkan pada budaya dikenal sebagai gotong royong, bermanfaat  ketika masyarakat dilibatkan untuk merencanakan dan membangun tempat tinggal sesuai dengan kebutuhan masing-masing Kasus Dome House : 
Bencana yang memiliki dampak paling merusak pada masyarakat biasanya merupakan tempat yang baik untuk pertumbuhan solidaritas internasional. Solidaritas dan dukungan internasional mengakibatkan  impor budaya tidak dapat dihindari selama kegiatan tanggap bencana. Dalam kasus Dome House sinergi antara lembaga internasional dengan pemerintah lokal di mana proyek akan dilaksanakan, dan universitas lokal yang dapat berfungsi sebagai mitra dalam mengidentifikasi masalah dan solusi sebelum atau selama pelaksanaan proyek.  
Faktor yang paling penting adalah sikap penerima manfaat atau yang selamat, yaitu, apakah mereka menerima proyek tersebut. Proyek Dome House di Ngelepen disambut oleh masyarakat dari awal, dan sebagai hasilnya masyarakat siap untuk menghadapi tantangan yang dihadapi dan menyesuaikan dengan situasi mereka. 





2. Materi disampaikan oleh Bp. Valentinus Irawan (ADPC) 
Tugas arsitek dalam kebencanaan terbagi 2 bagian : 
sebelum terjadi bencana dan setelah terjadi bencana, AIA memberikan arahan untuk “architects' role in emergency management cycle” 
 Preparedness 
 Mitigation 
 Response 
 Recovery Pemahaman arsitek terhadap penanganan bencana dan sosial dapat disimak video presentasi konsep dari Alejandro Aravena : 
 Aravena dikenal karena desain yang sadar sosial, berkelanjutan, dapat dilaksanakan dengan cepat dan dengan anggaran kecil. Pemikiran Aravena mengilhami metode perancangan rumah untuk penduduk Chili yang tinggal di permukiman kumuh,  beberapa tantangan desain yang dia hadapi di Chili dan salah satunya pendekatan inovatif dengan menekankan kebutuhan akan kesederhanaan dalam desain, Aravena mengembangkan tipologi “rumah setengah jadi”  untuk pemerintah dalam menyediakan rumah dengan harga sangat terjangkau.  
 Aravena memberikan presentasi tentang mendesain ulang kota pelabuhan Chili hanya dalam tiga bulan setelah gempa bumi dengan rencana induknya untuk membangun kembali pantai setelah kota itu dilanda gempa 2010. Aravena memperhatikan dengan seksama kondisi lingkungan sosial penduduknya, dengan menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam proyek-proyeknya. 

Sesi 5 : “Disaster Recovery and Reconstruction Trip 1 – Case of Core House in Kasongan Village (Building Back Better)” 

Dipandu dan disampaikan oleh Bp. Ikaputra (UGM) 
Peserta mengelilingi kawasan dengan konsep rehabilitasi fisik Core House, Paska gempa tahun 2006  pembangunan Core House dapat dilakukan secara bertahap dengan membangun rumah inti lebih dulu, agar bangunan layak guna dengan dana ekonomis,  dengan menggunakan meterial sisa bangunan yang roboh namun bisa dipakai, seperti batu bata, kayu dan pintu jendela. 

Selanjutnya, bila dana mencukupi, rumah inti dapat dikembangkan sesuai kebutuhan penghuni. Rumah inti sederhana mutlak diperlukan agar pada saat itu pengungsi secepatnya kembali ke rumah. Meski diperkirakan gempa serupa akan kembali dalam kurun waktu lama, bangunan tahan gempa menjadi syarat mutlak. Syarat standar tahan gempa adalah memiliki tulangan besi pada kolom, balok, dan sloof dengan jumlah dan besaran yang cukup, kekakuan ikatan ini membuat rumah tak mudah copot saat digoyang gempa, ini pula yang akan mengurangi korban jiwa. Pada implementasinya pengembangan rumah Core House menyesuaikan kondisi ekonomi penghuninya, dengan keterbatasan pengembangan rumah dengan sistem “kotangan” agar lebih ekonomis konstruksinya , hanya menggunakan dinding bata setinggi 11,5 meter untuk menghindari biaya struktur. 

Sesi 6 : “Disaster Recovery and Reconstruction Trip 2 – Case of Heritage Reconstruction in Kotagede (Building Back Better)” 
Dipandu dan disampaikan oleh Ibu Laretna T. Adishakti (UGM) 
Peserta mengunjungi “Omah UGM” yang memiliki sejarah yang erat hubungannya dengan tahun 2006, saat itu beberapa rumah tradisional di kawasan Kotagede banyak yang rusak bahkan ambruk.  UGM membeli sebuah rumah tradisional di Jagalan, Kotagede, diberi nama Omah UGM, dalam rangka berpartisipasi rekonstruksi rumah tradisional. 

Permasalahan rekonstruksi bangunan (rumah) heritage di Kotagede adalah kurangnya dukungan pemerintah. Pemerintah lebih memperhatikan pusaka budaya tingkat tinggi (monumen), sedangkan pusaka rakyat (rumah tinggal) dibiarkan.  Program ini mempunyai fokus pada usaha membangun ekonomi komunitas lokal . Omah UGM ini bukan hanya menyelamatkan bangunan tradisional tapi juga fokus pada pelestarian pusaka rakyat baik yang bendawi maupun non bendawi, Pusaka rakyat itu antara lain adalah kerajinan perak. Bukan hanya hasil kerajinan itu tapi kemampuan membuat perak itu juga harus dilestarikan, termasuk juga memformulasikan master plan konservasi. 

Sesi 7 : “Disaster Recovery and Reconstruction Trip 3 – Case of Imported Culture-Dome House (Building Back Better)” 
Disampaikan oleh Ketua RW Bp. Sakiran dan dipandu oleh Bp. Ikaputra Peserta mengunjungi kawasan Dome House - Perkampungan Rumah Dome Nglepen yang merupakan kampung yang direlokasi akibat terjadinya gempa tahun 2006 yang mengakibatkan tanah ambles, sehingga tanahnya tidak bisa digunakan kembali. mayoritas dihuni oleh warga yang dulu tinggal di Nglepen akan tetapi ada beberapa warga dari Dusun tetangga yang ikut direlokasi karena kawasan rumah mereka rawan bencana longsor. 

Diskusi dengan ketua RW, digali informasi tentang permasalahan yang ada adalah penyesuaian warga terhadap desain rumah, antara lain masalah kenyamanan, ruangan kecil biasa di rumah besar, dapur di dalam tidak bisa memasak dengan kayu, solusinya adalah adaptasi dan menikmati yang ada, ada juga warga yang memilih mencari tempat lain, permasalahan lain adalah penggunaan tanah yang harus bayar sewa (sedang diperjuangkan status hak milik seperti hunian tetap merapi), saat ini  Pada tahun 2009 dikembangkan menjadi desa wisata, untuk meningkatkan pendapatan dan sewa tanah, dan untuk warga diberikan pelatihan pariwisata 

Harapan warga (mengharapkan usulan dari arsitek) adalah : 
 Bagaimana mengatasi hawa panas di dalam rumah (beberapa solusi sudah dibahas) 
 Bagaimana menata perkampungan agar tidak semrawut, terutama pengembangan (renovasi) rumah yang sudah ada (sekitar sepertiga masih asli) 






 by Heru Sutono, IAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages